Arsitektur Dekontruksi

            Dekonstruksi merupakan salah satu bagian dari arsitektur pasca-modern ( late – modern ) yang merupakan pengembangan/ kebangkitan dari arsitektur modern. Tonggak pengakuan gerakan arsitektur dekonstriksi dipancangkan sejak diselenggarakannya diskusi Academy Forum di Tate Gallery, London, 1988 yang kemudian disusul dengan pameran “deconstructivist Archiecture” di Museum of Art, New York, yang di-organisasi oleh Philip Johnson. Ada tujuh arsitek yang terpilih untk memamerkan karya – karyanya, yaitu :
1.   Peter Esienman
2.   Bernard Tschumi
3.   Daneil Libeskind
4.   Frank Gerhy
5.   Zaha Hadid
6.   Rem Koolhaas
7.   Coop Himmelblau
            Mark Wigley menjelaskan ciri – ciri karya ke tujuh arsitek tersebut sebagai transformasi struktur modernisme yang stabil ke sebuah dunia bentuk arsitektur yang tidak stabil tetapi terorganisasi dalam sebuah struktur tanpa pusat dan tanpa hirarki        ( disebut decen – tering dalam konsep Derrida ) dan mampu hadir dalam berbagai penggunaan yang inden-penden.
            Meskipun keempat kelompok yang dibagi Jencks dan ketujuh arsitek yang melakukan pameran MOMA ini tidak saling berhubungan tapi ada satu hal yang membuat mereka mempunyai kesamaan, yaitu karya – karyanya mencerminkan pengingkaran dari aturan – aturan yang berlaku, kalaupun karya ketujuh arsitek ini merupakan karya – karya terbaik dan sempurna maka ke-sempurnaannya adalah “Violated Perfection”.

Zoizumi Sangyo, Peter Eisenman
            Gejala “dekon” secara nyata telah dirasakan kehadirannya dalam bidang arsitektur. Sejak tahun 1988 gejala “dekon” dalam arsitektur telah menjadi tajuk perdebatan yang hangat. Usaha untuk mencari kejelasan tentang gejala tersebut terlah ditempuh dengan berbagai cara : simposium, pameran, essai, buku, wawancara, dan lain – lainnya. Manakah yang lebih tepat ‘dekonstruksi’ atau ‘dekonstruktivisme’? masing – masing label tersebut mengacu pada asumsi, sudut pandang, interpretasi dan implikasi yang berbeda.
            ‘dekonstruksi’ secara luas digunakan dalam lingkungan intelektual di Perancis dan Inggris, berlandaskan pada asumsi bahwa gejala ‘dekon’ secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan filsafat kritis Jacquea Derrida. Label tersebut dikukuhkan secara resmi dalam “international Symposium on Deconstruction” yang diselenggarakan oleh Academy Group di Tate Gallery, pada tanggal 8 April 1988. pada simposium tersebut didapat kesepakatan sebagai berikut : bahwa dekonstruksi bukanlah gerakan yang tunggal atau koheren, meski banyak diwarnai oleh kemiripan – kemiripan formal di antara karya arsitek yang satu dengan yang lainnya. Dekonstruksi tidak memiliki ideologi ataupun tujuan formal, kecuali semangat untuk membongkar kemapaman dan kebakuan.

Coop Himmellblau in pavilions for exposition
           Label ‘dekonstruktivisme’ yang lebih berkonotasi pragmatis dan formal terutama digunakan di Amerika Serikat, dicetuskan oleh Philip Johnson dan Mark Wigley melalui sebuah pameran yang bertema “deconstructivist Architecture” yang di selenggarakan di Museum of Art, New York, tanggal 23 Juni – 30 Agustus 1988. dengan Dekonstruktivisme terungkap penyangkalan terhadap adanya keterkaitan antara gejala “dekon” yang diwakili oleh karya tujuh tokoh arsitek yang ditampilkan dalam pameran dengan filsafat kritis Jacques Derrida.
            Telaah dan pemahaman dekonstruksi memerlukan suatu kesiapan untuk belajar menerima beberapa kemungkinan phenomena. Syarat dari semua ini berdiri di atas keterbukaan dan kesabaran. Keterbukaan membiarkan phenomena berbicara langsung tanpa prekonseosi. Kesabaran memberikan ruang kepada orang untuk mendengar lebih cermat dan seksama.
            Deconstruction sebuah konsep Perancis yang diturunkan oleh Jacques Derrida ( lahir 1921) tidak mudah disampaikan sebagaimana pemahaman orang tentang konstruksi, destruksi, dan rekonstruksi. Derrida mengajak semua orang termasuk arsitek untuk merenungkan kembali hakekat sesuatu karya agar berbicara menurut pesona dan kapasitasnya masing –masing. Keseluruhan ini berangkat dari suatu metoda komposisi. Derrida menyebutkannya dalam merajut rangkaian hubungan – hubungan. Dalam tekniknya terdapat beberapa teknik dan terminologi yang perlu klarifikasi di sini. Usaha demikian diharapkan dapat memperjelas hubungan Deconstruction dan Rancang bangunan.

Zaha Hadid in pavilion for the exposition
          Konsep utama memproduksi atau mengadakan karya bertolak dari konsep yang oleh Derrida pada kasus literatur disebut differance. Dalam rancang bangun konsep ini tidak dapat dipahami sebagai suatu pendekatan yang membuka pemikiran bahwa karya bukanlah semata – mata representasi yang direduksi sebagai alat menyampaikan gagasan atau pesan. Merancang karya diharapkan memberi peluang agar kemungkinannya berbicara bisa merdeka dari prinsip dominasi. Differance memahami setiap komponen bahkan elemen dari komposisi sebagai suatu potensi yang tidak terpisahkan keberadaan, peran dan fungsinya dalam kesemestaan. Artinya mereka tidak hanya sebagai suatu alat untuk menunjuk pada sesuatu gagasan atau ingatan atau nilai tertentu. Diferance memberikan pemahaman baru bagaimana melihat elemen rancangan rancang bangun dalam sebagai batas – batas wilayah yang mengkaitkan : manusia-material-konstruksi-rupa/bentuk dan tempat. Rancang bangunan sebagai suatu keutuhan dan aspek – aspeknya adalah jejak – jejak dari suatu kesemestaan yang mampu berbicara sendiri sebagai pembangun pemahaman dunia. Seperti halnya suatu ‘text’ rancang bangunan marupakan suatu komposisi yang berosilasi di antara hadir dan absen. Dengan osilasi tersebut terjalin suatu yang terputus – putus sebagaimana pemahaman kita sebenarnya akan dunia ini.

Ronacher Theater Project
            Diskontinuitas dan putusnya linearitas menghadirkan permainan dalam setiap komposisi karena apa yang digagas dan dibangun tidaklah berdiri sendiri. Gagasan yang dituangkan dalam komponen komposisi yang sebenarnya dikutip dari rujukan di tempat lain. Bentuk/rupa material-konstruksi-lokasi. Jadi tidak pernah komponen komposisi berdiri sendiri yang lahir dan tercipta dari ruang hampa. Differance mengangkat permasalahan komposisi yang terdiri atas “ citatioans” atau kutipan – kutipan ke dalam suatu komposisi. Dengan komposisi sebenarnya orang melihat dan merasakan suatu representsi pentunjuk yang hadir dengan rujukan yang tidak hadir ( entah di mana ). Komposisi ini memberikan suatu gambaran fragmen – fragmen dari sumbernya yang “mengada” di suatu lokasi dan tampil seolah – olah utuh dan stabil sebagai sosok mandiri. Rujukan gagasan bentuk/rupa misalnya, tidak pernah lepas dari keinginan untuk melayani “kebutuhan” manusia. Atas dasar merujuk pada sumber – sumber tidak hadir itulah sebuah komposisi “meng-ada”. Dengan itu pula apa yang hadir sebenarnya memberikan “jejak” kepada sumber – sembernya. Interprestasi komposisi menurut prinsip differance tidak mungkin dilakukan tanpa membaca atau menelusuru jejak – jejak yang hadir ke sumber – sumber mereka. Hasil dari komposisi yang lahir dengan hadirnya jejak – jejak tersebut oleh Derrida disebut Dissemination.

Funder Factory. Coop Himmelblau Wolf d.prix/Helmut Swiczinsky
            Deconstruction sebagai upaya atau metoda kritis, tidak hanya berupaya membongkar bangun – bangun teori atau karya lewat elemen, struktur, infrastruktur maupun contextnya. Lebih dari itu, kekuatan – kekuatan yang berperan pada konsep yang bersangkutan akan: dilucuti atribut – atributnya, dikupas habis hingga telanjang bulat, dilacak asal usul dan perkembangannya, dicari kaitan – kaitannya dengan konsep – konsep lain, digelar kemungkinan – kemungkinan posisi maupun kontribusinya terhadap apa saja. Semua proses pembongkaran tersebut dimaksudkan untuk membangun kembali karakteristik phenomenalnya. Dalam pembangunan kembali tersebut, ekspose dari ‘interplay’ kekuatan – kekuatan melalui : kontradiksi – kontradiksi, kesenjangan – kesenjangan, decomposition, disjunction, discontinuity, dan deformation, merupakan cara untuk memperlihatkan kemungkinan – kemungkinan “ada” dan “mengada”. Daya tarik deconstruction bagi dunia rancang bangun terletak di dalam cara melihatnya bahwa ruang dan bentuk adalah tempat kejadian yang selayaknya terbuka bagi yang mungkin dan yang tidak mungkin.

            Derrida secara jelas menolak gagasan bahwa penerapan deconstruction akan menjadi semacam “aliran” atau “langgam” baru pada seni bangunan. Tetapi pada kenyataannya adalah tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang disebut arsitektur dekonstruksi akan memberikan dan membawa arsitek kepada arah dan gerakan yang baru.

FILSAFAT DEKONSTRUKSI
1.   Bahasa
            Jacques Derrida mengajukan sebuah konsep penting yang berkaitan dengan bahasa, yaitu “sous rature”, yang diturunkan dari Martin Heidegger yang berisi : karena kata tidak akurat dan tidak memadai, maka harus dicoret. Tetapi karna masih dibutuhkan, maka harus tetap dapat dibaca. Menurut Derrida, penanda ( signifier ) tidak secara langsung menggambarkan petanda seperti kaca memantulkan bayangan. Hubungan tanda – tanda tidak seperti dua sisi dari sehelai kertas yang digambarkan Saussure, karena tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Apabila kita ingin mengetahui makna suatu penanda, kita harus melihat kamus. Tetapi yang ditemukan adalah penanda – penanda lain yang petandanya harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi selalu bersifat tanpa batas dan sirkuler. Penanda beralih bentuk menjadi petanda, demikian pula sebaliknya, sehingga kita sebenarnya tidak pernah sampai pada petanda akhir yang bukan penanda. Interpretasi dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan tanpa dasar.
          
2.   Metoda Dekonstruksi
            Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks secara teliti, sehingga premis – premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi yang disusun atas premis tersebut. Dekonstruksi dengan demikian membuktikan bahwa bibit kehancuran sebuah teks ada dalam dirinya, berupa inkonsistensi dan paradoks dalam penggunaan premis dan konsep. Dengan kata lain, teks selalu gagal menurut kriterianya sendiri. Dekonstruksi dengan demikian menyangkal kemungkinan hadirnya suatu makna yang tunggal dan koheren dalam teks. Dekonstruksi mencoba membedah teks untuk menunjukkan dasar – dasar inkoherensinya. Derrida menggunakan konsep “difference” yang merujuk pada kemungkinan tanpa batas untuk bermain dengan makna – makna yang berbeda, sehingga interpretasi definitif suatu teks tidak pernah dimungkinkan. Seperti diyakini oleh Derrida, “there is nothing outside the text”.
            Derrida mengaitkan metoda dekonstruksi dengan kritik terhadap “metaphysics of presence” yang menjadi asumsi dasar para siluf tradisional. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang disebut “present” dalam pengertian suatu saat yang terdefinisikan sebagai sekarang. “the present” bagi hampir semua orang adalah daerah yang dikenali. Dengan konsep tersebut Derrida ingin menjelaskan bahwa tanda mencirikan “an absent presence”. Manusia menggunakan tanda agar tidak perlu menghadirkan obyek secara langsung, meski makna tanda harus tertangguhkan.

3.   Phonosentrisme
            Akibat asumsi tentang “presence” yang demikian kuat, juga karena bahasa ucapan lahirlebih dahulu dari bahasa tulisan, makna manusia memberikan prioritas pada bahasa ucapan, alih – alih bahasa tulisan. Dalam ucapan manusia dapat menangkap makna dan kesan kehadiran secara langsung. Akibatnya bahasa ucapan dihargai lebih tinggi dari bahasa tulisan.
            Usaha untuk mendekonstruksikan oposisi antara bahasa ucapan dan bahasa tulisan menurut Derrida dapat dilakukan melalui kritik terhadap “metaphysics of presence”. Kata – kata yang diucapkan manusia segera hadir dalam kesadarannya secara intim, sementara tulisan cederung merampas eksistensi manusia. Melalui kritik “metaphysics of presence”. Derrida berusaha mengangkat bahasa tulisan mempunyai posisi yang sejajar dengan bahasa lisan.

4.   Logosentrisme
            Apabila phonosentrisme bertumpu pada suara, maka logosentrisme menurut Derrida bertumpu pada konsep kebenaran dan realitas hakiki yang tak dapat dikritik, yang disebut Meta-fisika. Derrida menilai makna transendental tersebut sebagai hakiki ( origin ), karena kehadiran makna tersebut harus didahului oleh kehadiran tanda – tanda lain. Metafisika adalah sistem berpikir yang berlandaskan pada “binary opposition”, dua kutub yang satu dengan yang lain saling menyangkal. Oposisi binary mencerminkan suatu cara memandang atau ideologi yang cenderung menarik garis tegas antara apa yang bisa diterima dan apa yang harus ditolak, antara yang dianggap benar dan yang salah, antara permukaan dan isi. Oposisi benary menurut Derrida berkaitan dengan “sentrisme”, yaitu kerinduan manusia akan pusat.
            Derrida berusaha menghancurkan oposisi binary yang diangap telah membatasi cara berpikir manusia dan  memperkokoh kehadiran metafisika dalam pikiran manusia. Ia memusatkan analisisnya pada daerah di antara oposisi tersebut ( margin ) dan berusaha menggeser fokus perhatian manusia dari pusat ke tepi, dari persamaan ke perbedaan, dari kesatuan ke fragmentasi, dan dari “presence” ke “absence”, atau dari elemen pertama yang selama ini dianggap penting dan dominan ke elemen kedua yang dianggap tidak penting, subordinat, inferior atau negatif.

5.   Relevansi terhadap arsitektur
            Filsafat Dekonstruksi Derrida sangat relevan karena menawarkan pemahaman dan perspektif baru tentang arsitektur, sehingga proses pemikiran kembali premis dan kaidah tradisional arsitektur dapat dilakukan.
Prinsip – prinsip dasar dalam ber- dekonstruksi adalah sebagai berikut :
a.   Tidak ada yang absolut dalam arsitektur. Tidak ada satu cara atau gaya yang terbaik, atau landasan hakiki di mana seluruh arsitektur harus berkembang. Gaya klasik, tradisional, modern dan lainnya mempunyai posisi dan kesempatan yang sama untuk berkembang.
b.   Tidak ada ontologi dan teologi dalam arsitektur. Tidak ada tokoh atau figur yang perlu di dewakan atau disanjung.
c.   Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus segera diakhiri. Perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah pada keragaman pandangan dan tata nilai.
d.   “Visiocentrism” atau pengutamaan indera penglihatan dalam arsitektur harus diakhiri. Potensi indera lain harus dimanfaatkan pula secara seimbang.
e.   Arsitektur tidak lagi identik dengan produk bangunan. Arsitektur terkandung dalam ide, gambar, model dan fisik bangunan, dengan jangkauan dan aksentuasi yang berbeda. Prioritas yang diberikan pada ide, gambar, mode dan bangunan harus setara, karena ide, gambar dan model tidak hanya berfungsi sebagai simulasi atay representasi gedung, tetapi bisa menjadi produk atau tujuan akhir arsitektur.

Terrace house at the Nordform’90 exposition in Malmo, Sweden
Kari Kuosma, Esko Valkama




KONSEP DEKONSTRUKSI DERRIDEAN
            Pengaruh Derrida dalam arsitektur seolah mengisi kehampaan makna yang dirasakan para arsitek terhadap arsitektur modern maupun arsitektur purna modern yang muncul sebelumnya.
            Derrida adalah seorang filsuf dan ahli linguistik Perancis yang mempertanyakan kembali dan menggugat filsafat modern yang menjadi dasar bagi konsep – konsep pemikiran modern di segala bidang. Dengan cara berfikir retrogresif, ia membongkar pemikiran para filsuf dan penulis besar dengan membaca karya tulisnya ( text ) dengan teliti dan tajam. Dalam text – text itu ia menemukan konsep – konsep yangkontradiktif, sehingga dengan demikian ia menunjukkan kekeliruan penulis yang bersangkutan.
            Untuk mengerti arsitektur dekonstruksi Derridean, berikut ini merupakan pernyataan yang menjadi kunci, yaitu:
-     Dekonstruksi bukan semata – mata metode kritis
-     Sikap dekonstrksi senantiasa alternatif, dan tidak negatif
-     Menembus dan menerobos berbagai wilayah disiplin keilmuan adalah necessites dari dekonstruksi.
-     Dekonstruksi merupakan suatu cara untuk mempertanyakan “arsitektur” dalam filsafat dan barangkali “arsitektur” sendiri.
-     “Deconstructive architecture”.... adalah bukan untuk membangun sesuatu yang “nyeleneh”, sia – sia, tanpa bisa dihuni, tetapi untuk membebaskan seni bangunan dari segala keterselesaian yang membelenggu.
-     Dekonstruksi tidak sesederhana untuk melupakan masa lalu. Tetapi membuat “inskripsi” kembali yang melibatkan rasa hormat pada tradisi dalam bentuk “memorial”
-     Dekonstruksi tidak semata – mata theoretikal, tetapi juga membina dan membangun struktur – struktur baru, namun tidak pernah menganggap selesai.
-     Dekonstruksi senantiasa memberikan perhatian kepada kelipatgandaan, keanekaragaman, dan mempertajam keunikan – keunikan yang tak dapat direduksi dari masing – masing.
-     Dekonstruksi menolak secara seimbang terhadap yang menghubungkannya dengan sesuatu yang spesifik modern atau post-modern.

1.   Pembedaan dan penundaan makna
            derrida mempersoalkan seluruh tradisi filsafat barat yang bermuara pada pengertian “ada” sebagai “kehadiran”, atau yang disebut metafisika kehadiran.dalam bahasa yang mudah dapat dikatakan yang hadir itulah yang”ada”. Kalau sesuatu yang tidak hadir ingin dihadirkan maka tanda dapat menjadi penggantinya. Jadi tanda menghadirkan ( mempresentasikan ) yang tidak hadir ( absence ).
            Dengan prinsip bahasa ini bahasa sebagai sistem te\anda berkembang menjadi sarana komunikasi manusia. Tanda berfungsi membedakan 9 differensiasi 0 artinya tanda yang satu berbeda dengan tanda yang lain, agar makna dari sesuatu yang berbeda dapat ditangkap.
            Namun kebudayaan manusia telah berkembang, makna atau konsep – konsep telah menjadi kompleks dan rumit seiring dengan bertambahnya pengalaman manusia. Sebagai contoh sebuah kata asing yang dicari dalam kamus, penjelasan kata dalam kamus  ternyata berisi serangkaian kata yang bisa jadi masih terdapat kata yang tidak dimengerti.

Bernard Tschumi in pavilions for the exposition
            Menurut Derrida, kata atau tanda kini tidak mampu lagi menghadirkan makna sesuatu yang dimaksud secara serta merta. Makna harus dicari dalam rangkaian tanda lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat mendeferensiasi tidak cukup bagi suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda – tanda lain yang mendahului dan saling terkait (“tissue of signs”) yang mungkin hanya nampak jejak – jejaknya saja (“trace”). Pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna menjadi tertunda menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan. Pemahaman makna tidak mungkin sekali jadi, sekarang dan disini karena itu tanda atau kata harus dicoret dulu tapi tidak dihapus.
            Derrida menciptakan konsep “differance”, ada dua kata dalam bahasa Inggris yang mendekati kata ini yaitu “to differ” yaitu membedakan dan “to defer” yaitu menunda. Konsep differance ini bukan kata atau definisi tapi suatu kondisi menunggu atau menunda diantara dua atau lebih keadaan yang berbeda, seperti bandul jam yang sampai pada titik tertinggi goyangannya, berhenti goyang ke kiri untuk mulai goyang ke kanan ( berapa detik bandul itu berhenti? )
            Dalam sistem tanda, konsep differance ini melihat bahwa antara yang hadir dan yang absen ada dalam kondisi saling tergantung bukannya saling meniadakan. Kehadiran baru punya makna bila ada kemungkinan absen yang setara. Jean Paul Sartre menolak menerima hadiah nobel karena berpendapat ketidak hadirannya justru lebih bermakna dan selalu diingat daripada jika ia hadir menerimanya.
            Dalam tradisi metafisika kehadiran realitas ( kenyataan ) ditangkap sebatas yang hadir, realitas yang ditampilkan adalah yang terpilih dengan tujuan tertentu, sementara yang tidak dikehendaki disembunyikan sehingga yang hadir sebetulnya adalah realitas semu.
            Dekonstruksi terhadap metafisika kehadiran dilakukan dengan mencoba menguak realitas yang asal dengan menghadirkan yang absen sekaligus dengan yang presence, yang dulu dengan yang kini sekaligus
2.   Pembalikan Hierarki
            Filsafat modern dengan metafisika kehadirannya sangat menekankan kepastian yang tidak tertunda karena segala sesuatu harus bisa diselesaikan dengan logika. Differensiasi secara ketat menghasilkan perbedaan 2 kutub yang dipertentangkan secara diamatral ( oposis binary ). Pandangan ini lebih jelas terlihat dalam faham strukturalis yang diajukan oleh Ferdinand de Sausure dalam linguistik atau C Levi-Strauss dalam Antropologi.
            Strukturalisme dalam memahami fenomena selalu mengadakan pemilahan ( differensiasi ) ke dalam elemen – elemen yang merupakan hasil abstaksi. Yang penting adalah relasi antar elemen ini, kemudian dari relasi inilah disimpulkan kaidah umum fenomena. Relasi antar elemen ini didapat dengan cara melakukan oposisi, bila terdapat dua elemen disebut oposisi binary, untuk tiga elemen disebut oposisi triadik dan seterusnya. Strukturalisme melihat semua gejala dalam kehidupan dengan cara ini :
            Budaya             -           alam                 : J.J. Rouseau
            Ujaran              -           tulisan               : C. Levi-Strauss
            Presence          -           absence
            Penanda           -           petanda            : F. de Sausure
            Elemen yang pertama dianggap yang penting dan mendominasi yang kedua, secara hierarkis yang kedua sub-ordinasi terhadap yang pertama, sehingga kalau yang kedua harus ada, maka ia hanya berperan sebagai pelengkap saja.
            Derrida melakukan dekonstruksi terhadap pandangan oposisi ini dengan menempatkan kedua elemen tersebut tidak secara hierarkis yang satu di bawah yang lain, tetapi sejajar sehingga secara bersama – sama dapat menguak makna ( kebenaran ) yang lebih luas, lebih mendalam pada suatu bingkai tanpa batas. Dikatakn bahwa dekonstruksi menyediakan “infra-struktur”, yaitu suatu kondisi yang mempunyai potensi untuk memproduksi perbedaan – perbedaan dalam konteks yang berbeda – beda (“disseminasi”) demi tercapainya kebenaran ( makna ) yang lebih asli bukan yang semu.
            Arsitektur adalah suatu cabang seni yang paling materiil dibanding seni yang lain, ia terikat dengan gravitasi, iklim, topografi, pergerakan, pekerja, dan bahan tapi juga terikat dengan hal – hal sejarah, memori, tatanan sosial, langgam, jiwa setempat dan lain – lain. Karena itu arsitektur menghadapi banyak sekali kondisi oposisional karena harus mengakomodir banyak hal. Kondisi oposisional yang mencakup aspek non-materi ini dalam berarsitektur akhirnya harus diwujudkan dalam materi, maka yang penting adalah bagaimana cara memandang elemen oposisi ini dan mentransformasikannya dalam elemen rancangan. Transformasi dariaspek non-materi ke tingkat materi merupakan suatu proses metamorfosis.


3.   Pusat dan Marjinal
            Perbedaan antara “pusat” dengan “marjinal” merupakan konsekuensi dari adanya hierarki yang ditumbuhkan oposisi binary. Yang “marjinal” adalah yang berada pada batas, pada tepian, berada di luar, karena itu dianggap tidak penting. Sementara yang  “pusat” adalah yang terdalam, yang di jantung daya tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan merupakan tujuan gerakan dari yang merjinal.
            Derrida  mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep “parergon”           ( para:tepi, ergon:karya ), yaitu bingkai lukisan. Kalau hanya untuk membingkai lukisan agar bisa tergantung di dinding, mengapa setiap bingkai lukisan selalu dibuat demikian bagus terukir? Bukannya pembingkaian ( framing ) ini mempunyai nilainya sendiri terlepas dari nilai lukisan yang dibingkainya?
            Dalam text, parergon ini berupa : kata penghantar, pendahuluan, catatan kaki, lampiran dan sebagainya. Sebagai yang marjinal, parergon oleh Derrida diberi peranan yang penting untuk menunjukkan sikap pembalikan hierarki, sebagai contoh kata pengantar bukunya “Of Grammatology” yang ditulis Gayatri C.Spivak demikian panjangnya dan penting sehingga kedudukannya sama dengan isi bukunya sendiri.
            Yang marjinal dalam arsitektur dapat dilihat pada :
1.      bagian – bagian yang dianggap “ekstra” seperti teras, garasi, ruang mesin, ruang pelayan, jalan masuk dan sebagainya.
2.      bagian – bagian yang berupa penambahan, perluasan, pengembangan, perbaikan.

            Mendekonstruksi yang marjinal menjadi pusat berarti mengangkat yang “ekstra”, yang tambahan pada posisi yang setara dengan yang utama dan mempunyai otonominya sendiri serta merta dengan menanyakan keabsahan yang utama atau yang asli seperti dalam proyek renovasi.

4.   Pengulangan dan Makna
            Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang pada konteks yang berbeda dimana secara konotatif maupun denotatif artinya akan memperoleh struktur yang stabil.
            Dengan penundaan pemaknaan tanda, terbuka kemungkinan yang lebih luas dalam suatu permainan penelusuran jejak – jejak tanda yang lain dalam konteks yang berbeda – beda.
            Dalam arsitektur, penggunaan metafor secara berulang- ulang akan membuka pemahaman yan glebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya.



KONSEP DEKONSTRUKSI NON – DERRIDEAN
            Dalam arsitektur dekonstruksi, ternyata terbagi menjadi menjadi dua kelompok yang berbeda. Di satu pihak adalah mereka yang berdasarkan kepada konsep dekonstruksi Derridean, dan di pihak kedua adalah mereka yang tidak mengikuti konsep Derridean yang disebut sebagai konsep Non – Derridean.
            Aaron Betsky dalam bukunya “Violated Perfection” mengelompokkan asitek – arsitek yang tidak mengikuti konsep Derridean ke dalam 5 kelompok, yaitu :

1.   Revelatory Modernist
            Diantara semua, kelompok ini yang paling konservatif, masih mengutamakan prinsip abstraksi dan mengutamakan fungsi mengoptimalkan kemungkinan hasil industri bahan dan prefabrikasi namun dengan memfragmentasi potongan – potongan, konteks dan program prefabrikasi tersebut dan hasilnya adalah kumpulan ruang dan obyek yang terfragmentasi. Arsitek yan termasuk didalamnya antara lain :
      Gunther Behnish & partner
      Jean Nouvel
      Helmut Jahn
      Emilio Ambasz
      Steven Hall
      Eric Owen Moss

2.   Shards dan Sharks
            Kelompok ini menampilkan bentuk – bentuk serpihan batang dan lempeng yang dikomposisikan sedemikian rupa sehingga kesannya sembrawut, menakutkan dan penuh teka – teki. Diantara semuanya, kelompok ini adalah yang paling radikal, programnya adalah membedah, mengolok – olok dan merombak proses modernisasi dan mencerminkan lingkungannya yang chaos, penuh kekerasan dan berbahaya.
Arsitek yang termasuk kelompok ini antara lain:
      Frank Gehry
      Gunther Domenig
      Coop Himmelblau
      Kazuo Shinohara
      Zaha Hadid

3.   Textualist
            Kelompok ini melihat bahwa arsitektur yang ada sebagai “built languange” yang tidak mampu lagi mencerminkan struktur dan kebenaran yang ada. Seperti halnya kata sebagai tanda tidak mampu serta merta menyampaikan makna ( kelompok ini sebenarnya termasuk kelompok dekonstruksi derridean ). Denah dan tampak bangunan yang ada hanyalah menampilkan bias yang pucat ( topeng ) dari struktur – struktur yang diredam ( absence ) perlu ditampilkan dengan mengangkat konflik – konflik internal yang ada. Yang termasuk  dalam kelompok ini adalah:
      Peter Eisenman
      Bernard Tschumi
      Ben Nicholson
      Steven Holl
      Diller dan Scofido

4.   New Mythologist
            Utopia merupakan mitos yang selalu ada pada setiap kurun waktu, karena tiada harapan tanpa utopia. Utopia arsitektur modern adalah dunia yang satu, utuh dan nyaris sama ( international style ) yang telah gagal memenuhi misi kemanusiannya. Utopia kedua adalah kebalikannya : Dystopia atau vision of self-destruction yang tidak berkembang karena kesadaran manusia untuk tetap mempertahankan kehidupan. Kelompok ini ingin menciptakan suatu utopia sebagai suatu mitologi baru, suatu dunia yang lain yang lokasi dan kaitannya dengan masa lalu, masa kini dan mendatang tidak dikenali. Arsitek yang termasuk dalam kelompok ini antara lain :
      Paulo Soleri
      Lebbeus Woods
      Hodgetts dan Fung desain Associates

5.   Technomorpisme
            Pada mulanya manusia menciptakan alat ( teknologi ) hanya sebagai perpanjangan tangannya, namun dengan berkembangnya teknologi, hubungan manusia dengan teknologi sudah demikian menyatu. Telekomunikasi jarak jauh telah menghapuskan jarak dan waktu dan pada gilirannya mengubah tatanan sosial bangsa – bangsa. Sebagai penerus proyek modern yang belum terselesaikan, kelompok ini mengakomodasikan teknologi dan membuatnya menjadi artefak yang tidak hanya menjadi perpanjangan tangan tetapi juga perluasan dari self-nya. Lebih dari itu teknologi bisa dilihat sebagai usaha mengekstensi,manipulasi, mediasi, representasi serta memetakan self-nya.   Arsitek - arsitek yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain :
      Macdonald dan Salter
      Toyo Ito
      Morphosis Architects
      Holt, Hinshaw, PFAU, Jones

            Secara umum ciri – ciri arsitektur dekonstruksi adalah sebagai berikut:
1.   Geometri masih  tetap dominan dalam tampilan tapi yang digunakan adalah geometri 3 dimensi bukan dari hasil proyeksi 2 dimensi sehingga muncul kesan sembrawut dan miring.
2.   Menggunakan warna sebagai aksen dalam komposisi sedangkan tektur kurang berperan.
3.   Yang dikomunikasikan adalah:
      a.   unsur – unsur yang mendasar, essensial, substansial yang dimiliki arsitektur.
      b.   kemampuan maksimal untuk berarsitektur dari elemen – elemen yang essensial maupun substansial.
4.   Tidak mengikatkan diri ke dalam salah satu dimensi waktu.
5.   Dekonstruksi menunjuk pada kejujuran yang sejujur – jujurnya.

6.   Di dalam dekonstruksi tidak ada yang dominan, bentuk dan ruang memiliki kekuatan yang sama.

Comments

Popular posts from this blog

Mahasiswa Solusi Politik Indonesia